Kamis, 29 November 2018

Mitos Dan Ritual Malam Satu Suro Serta Penjelasan Malam Satu Suro

Apa sih malam satu Suro? Kalau bukan orang Jawa, mungkin tidak mengerti tentang ihwal malam satu Suro ini. Sebenarnya bulan Suro adalah bulan Muharram, yaitu bulan pertama dalam kalender tahun Islam/ atau disebut juga sebagai tahun Hijriah. Satu Suro tahun ini jatuh pada tanggal 14 Oktober dalam tahun Masehi. Kita melihat tanggal ini berwarna merah sebagai hari libur nasional. Namun dalam masyarakat Jawa, datangnya bulan ini dirayakan secara khusus.

Kita pasti pernah mendengar tentang malam Satu Suro. Apa istimewanya malam ini  sehingga istilah malam satu Suro menjadi terkenal? Banyak orang mengkait-kaitkan malam ini sebagasi sesuatu yang berbau mistik. Apalagi telah berulangkali diangkat dalam film layar lebar. Misalnya dalam film-film yang dibintangi Suzanna. Di beberapa daerah, ada perayaan yang menyertakan sesajen sehingga malam ini dianggap sebagai malam yang keramat. Entah itu  berhubungan dengan hal-hal ghaib, atau tentang makbulnya hajat seseorang pada malam ini.

Orang-orang yang masih percaya dengan kekeramatan ini, melakukan ritual khusus. Ada orang yang melakukan 'tapa bisu', yaitu tidak mengeluarkan katakata alias mengunci mulut. Ada pula yang 'kungkum'. berendam diri di sebuah sungai. Di Yogyakarta, banyak yang tidak tiudur semalam suntuk, tetapi melakukan perenungan sambil berdoa. Ada juga yang menggelar Wayang Kulit yang berisi nasihat. Panyai Parang Tritis dan Parangkusumo penuh dengan pengunjung pada malam satu Suro ini.

Sebenarnya dalam agama Islam, tidak ada perayaan khusus yang bermuatan mistis, karena bisa menimbulkan dosa Syirik dan musyrik. Tahun Hijriah dimulai ketika Rasulullah Nabi Muhammad SAW harus hijrah atau pindah dari Mekkah ke Madinah demi menyelamatkan kaum muslim. Saat itu adalah pertamaka kalinya penduduk muslim asli Mekkah harus meninggalkan kota yang dicintainya demi membela kebenaran ajaran Rasulullah.

Makna hijrah sendiri, bukan hanya perpindahan fisik seseorang ke tempat lain. Makna yang lebih dalam adalah melakukan hijrah dari segala sesuatu yang buruk ke arah yang lebih baik. Misalnya, meninggalkan sifat-sifat buruk yang ada pada diri kita seperti ketamakan, iri hati, dendam, ambisi, egois dsb. Sehingga pada tahun yang baru itu, kita menjadi pribadi yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

Jadi tidak ada perayaan atau ritual khusus, apalagi berhubungan dengan dunia ghaib pada malam satu Suro. Idealnya adalah pada malam itu kita melaksanakan sholat taubat agar dosa-dosa kita diampuni oleh Allah SWT. Tentu saja jika ingin melek semalam suntuk, isi saja dengan zikir dan shalawat. Bukan dengan upacara macam-macam yang tidak masuk akal. Kita justru menambah dosa.

Maka, bagi yang merasa dirinya sebagai muslim, jika tidak berusaha menjadi muslim yang lebih baik dari sebelumnya, keimanannya berarti stagnan atau tidak ada perubahan. Jika justru menjadi lebih buruk dari sebelumnya, berarti imannya tergerus oleh hal-hal negatif. Bagaimana dengan anda? mampukah melakukan hijrah dari sifat-sifat buruk kepada sifay-sifat yang lebih baik? semoga kita selalu mendapat bimbinganNya. Aamiin YRA.

Mitos Malam Satu Suro

Malam satu Suro memang terkenal sakral dan penuh aura mistis bagi sebagian orang, Sebenarnya ada apa sih di malam satu suro
Banyak mitos malam satu suro sering terdengar di telinga manakala hari pergantian tahun baru islam tersebut semakin dekat.
Bahkan orang sekarang masih mempercayai mitos tersebut. Dilansir dari berbagai sumber, berikut mitos yang masih dipercaya.

Banyak cerita angker dan penuh mistis tentang malam satu suro, Dibawah ini adalah diantaranya:

Malam Satu Suro adalah Lebarannya Makhluk Gaib
Kisah ini pasti sudah kerap terdengar di telinga kita, sebagian masyarakat pada masa lalu mempercayai jika malam 1 suro merupakan lebaran bagi makhluk gaib sehingga banyak diantara mereka yang keluar dari tempat persinggahan masing-masing.
Anehnya mitos ini kerap dikaitkan dengan adanya penampakan serta gangguan makhluk halus di malam tersebut. Entah darimana awal mitos ini muncul yang jelas mitos tersebut hingga kini masih banyak dipercaya.
Terlalu berlebihan jika ada yang percaya bahwa malam satu suro merupakan malam paling buruk dalam satu tahun. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap bahwa di bulan suro terdapat banyak sekali sial dan bencana yang akan menimpa umat manusia.
Tak heran jika orang-orang jawa abangan pada zaman dulu kerap menghindari berbagai pesta upacara pada bulan ini termasuk pesta perkawinan dan hajatan lain.
Di lain sisi masyarakat kejawen meyakini bahwa musibah dan bencana dapat ditolak dengan cara melakukan ritual tertentu. Karena itulah kemudian dikenal beberapa tradisi malam satu suro seperti ruwatan untuk buang sial.

Kembalinya Arwah Leluhur Ke Rumah
Sebagian masyarakat jawa pada masa lalu lebih sakral lagi dalam menanggapi datangnya pergantian tahun Hijriyah. Banyak diantara mereka yang meyakini, bahwa di malam satu suro, arwah leluhur yang telah meninggal dunia akan kembali dan mendatangi keluarganya di rumah.
Bukan hanya itu saja, bahkan beberapa orang menambahkan peristiwa lebih seram lagi dimana mereka meyakini jika pada malam satu suro arwah dari orang-orang yang menjadi tumbal pesugihan akan dilepaskan dan diberi kebebasan pada malam tersebut sebagai hadiah pengabdiannya selama setahun penuh.
Nah demikianlah mitos-mitos di malam satu suro yang diyakini sebagian masyarakat awam, Kita sebagai umat Islam yang memegang teguh ajaran Rasulullah hendaknya tidak memakan mentah-mentah cerita tentang angkernya malam satu suro seperti yang disebutkan diatas.
Namun dalam hal ini, kita harus kembalikan masalah ini kepada Al Qur'an, Al Hadits dan tuntunan para ulama', dalam menanggapi fenomena malam satu suro ini.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah: 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi.
Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci).
Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban." (HR. Bukhari)
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, "Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan." (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir)
Adalah hal yang aneh jika mengaitkan bulan Haram dengan bulan yang sial, hanya orang yang tak beragama Islam yang menganggap bulan suro penuh sial karena dalam Islam sendiri, Muharram termasuk salah satu bulan yang dimuliakan.

Sedangkan terkait masalah kembalinya arwah ke rumahnya di dunia, silahkan Anda baca ulasannya di : Tiap Malam Ini, Arwah Orang Mukmin Akan Pulang Ke Rumahnya

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim)
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi,
"Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab,
"Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan.

Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini.

Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram) (Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H)
Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan dimuliakan dalam ajaran Islam.
Namun tidak demikian dengan anggapan kebanyakan orang awam.
Mereka menganggap Bulan suro adalah bulan penuh musibah, sarat bencana, penuh sial, bulan keramat dan sangat sakral.
Itulah berbagai tanggapan terkait bulan Suro atau bulan Muharram.

Ritual Malam Satu Suro

1. Siraman
Sedikitnya ada 6 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura yang dilakukan orang Jawa, antara lain :

1. Siraman malam 1 Sura

Mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan menyucikan raga, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura, antara lain dilakukan beberapa hal seperti lebih ketat dalam menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif.
Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan.
Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Bisa juga 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan).
Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.

2. Tapa Mbisu (membisu)
Tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.

3. Lebih Menggiatkan Ziarah
Pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden).
Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam. Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur, mengenang dan meneladani amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi.

Asal-usul kita ada di dunia ini juga melewati mereka semua. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan kembali pada Tuhan. Mengapa harus datang ke makam? Tentu atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagian, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini.

4. Sesaji bunga setaman di wadah berisi air bening, ditaruh dalam rumah
Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang mendukung dan memelihara serta menjaga anak cucu, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam berbagai macam hal yang diikutsertakan. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar ada perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.

5. Jamasan pusaka
Tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau melestarikan warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawan, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah diperbuat dan digapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut dari “akarnya”.

Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe atau ragam bahan ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Ini bisa terjadi bila kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji.

Namun dalam tradisi Jawa, ada beberapa hal yang bisa dilihat latar belakangnya untuk menjelaskan semua ini.

Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus.

Ketiga; Larung sesaji juga merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik.

Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan semestinya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bila dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan kerusakan yang merugikan semua pihak. Maka jalinan keharmonisan sampai kapan puntetap harus dijaga.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar